Uji Formil UU Kesehatan Ditolak MK, IDI Bakal Ajukan Uji Materiil Jumat, 1 Maret 2024 08:59 WIB

KABUPATEN CIREBON, DBFM - Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) merespons soal uji formil Undang-undang (UU) 17/2023 tentang Kesehatan yang mereka ajukan ditolak Mahkamah Konstitusi (MK).

IDI tak sendiri dalam memohonkan gugatan ini, melainkan bersama empat organisasi profesi lainnya.

Yakni, Persatuan Doktet Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), IBI (Ikatan Bidan Indonesia), dan IAI (Ikatan Apoteker Indonesia).

Ketua Umum PB IDI Adib Khumaidi mengatakan, pihaknya menghormati putusan MK. Ia menambahkan, setidaknya kelima organisasi profesi ini sudah menjalankan haknya sebagai warga negara.

Kemudian, diakui Adib, uji formil ini juga menjadi upaya yang ingin ditunjukkan kepada para anggota organisasi profesi dan masyarakat luas terkait pentingnya memerhatikan hal-hal formil dalam proses pembuatan UU. Terutama mengenai partisipasi bermakna atau meaningful participation.

"Jadi konteks di dalam perlibatan DPD, meaningful participation, ada satu upaya bahwa kita semua mempunyai kepentingan mengenai kesehatan rakyat," kata Adib, saat ditemui di gedung MK, Jakarta Pusat, pada Kamis (29/2/2024).

Lebih lanjut, Adib mengatakan, kelima organisasi profesi ini akan melanjutkan upaya mencari keadilan melalui pengajuan uji materiil ke MK.

"Kelanjutannya tentu kami akan masuk pada suatu upaya karena ada materi-materi substantif yang memang dari sudut pandang organisasi profesi juga berbeda atau mungkin ada hal yang mungkin bersama-sama hak secara konstitusi itu ada," ucap Adib.

"Ini akan kami gunakan dan akan mengajukan uji materi," sambungnya.

Ia menuturkan, melalui uji materiilnya pihaknya akan masuk pada substantif UU Kesehatan yang mereka nilai melanggar konstitusi.

Namun demikian, katanya, saat ini kelima organisasi profesi itu akan mengkaji dulu, norma-norma dari UU Kesehatan yang mana saja yang akan diujikan ke MK, nanti.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji formil Undang-undang (UU) 17/2023 tentang Kesehatan.

Hal ini dinyatakan dalam Putusan MK Nomor 130/PUU-XXI/2023, yang dibacakan dalam persidangan, pada Kamis (29/2/2024).

Namun, dalam kesempatan yang sama, Ketua MK Suhartoyo mengatakan, ada empat orang hakim yang menyatakan memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion.

"Terhadap putusan Mahkamah a quo terdapat pendapat berbeda atau dissenting opinion dari 4 orang hakim konstitusi," kata Suhartoyo, usai membacakan putusan, di gedung MKRI, Kamis siang.

Keempat hakim konstitusi yang berpendapat berbeda itu, di antaranya Suhartoyo, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Ridwan Mansyur.

Suhartoyo kemudian mengatakan, substansi dissenting opinion dari keempat hakim tersebut dianggap telah dibacakan.

Meski demikian, Ketua MK itu mengungkapkan, inti dari pendapat para hakim yang berbeda pendapat dari sisa 5 hakim yang ada menilai, permohonan uji formil UU Kesehatan ini seharusnya dikabulkan.

Sebab, lanjutnya, keempat hakim itu memandang, UU 17/2023 tentang Kesehatan harus dinyatakan cacat formil.

"Intinya, keempat hakim konstitusi dimaksud mempunyai pendapat, bahwa seharusnya permohonan Pemohon ini dikabulkan dan berpendapat pula, bahwa terhadap UU 17/2023 haruslah dinyatakan cacat formil," ungkap Suhartoyo.

Gugatan ini diajukan oleh lima organisasi profesi, di antaranya, yakni Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Persatuan Doktet Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), IBI (Ikatan Bidan Indonesia), dan IAI (Ikatan Apoteker Indonesia).

"Amar putusan, mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo, dalam sidang pengucapan putusan di gedung MKRI, Jakarta Pusat, pada Kamis (29/2/2024).

Untuk diketahui, kelima organisasi profesi ini mendalilkan bahwa UU Kesehatan cacat formil karena perencanaan, pembahasan, dan pembentukannya tidak memenuhi syarat formil adanya keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation).

Selain itu, pemohon juga mendalilkan terjadinya tindakan penghambatan partisipasi dalam pembahasan rancangan undang-undang (RUU) Kesehatan yang menciderai demokrasi konstitusional.

Namun, Mahkamah menilai, dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

Sebab, Hakim Guntur Hamzah menyebut, dalam permohonannya para Pemohon tidak mempertimbangkan putusan MK dalam Naskah Akademis dan naskah RUU Kesehatan sebagai landasan yuridis.

"Dengan demikian, dalil permohonan para Pemohon perihal UU 17/2023 cacat formil karena dalam landasan yuridis tidak mempertimbangkan putusan-putusan Mahkamah dalam Naskah Akademis dan Naskah RUU Kesehatan. Sehingga tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang adalah tidak beralasan menurut hukum," kata Hakim M. Guntur Hamzah.

( Artikel ini Bersumber : tribunnews.com )